Bismillah..
oke gan, apa kabar? semoga sehat halilintar terus setiap hari ya.
oke gan, apa kabar? semoga sehat halilintar terus setiap hari ya.
pada kali ini ane mau
share mengenai fenomena-fenomena atau konflik sosial yang biasa terjadi di
Indonesia. dan pada kesempatan ini ane memilih 2 di antara ribuan pilihan yang
menerut ane ini adalah hal yang mungkin cukup berat di selesaikan karna sudah mendarah
daging pada setiap anak bangsa Indonesia.
1. FENOMENA MARAKNYA PEMBULLY-AN
sebelum ane menjabarkan
bagaimana pendapat ane mengenai hal ini, ane mau menjelaskan dulu pengertian
BULLY secara umum,
Intimidasi (juga disebut cowing) dimaksudkan
adalah perilaku "yang akan menyebabkan seseorang yang pada umumnya akan
merasakan "takut cedera" atau berbahaya. Ini tidak diperlukan untuk
membuktikan bahwa perilaku tersebut sehingga menimbulkan kekerasan sebagai
teror atau korban yang sebenarnya takut. yang dihitung menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan politik, agama, atau
ideologi melalui intimidasi, kekerasan, atau Menanamkan takut "dapat
didefinisikan sebagai terorisme. [2]
Perilaku mengancam seharusnya menjadi sebuah
perkembangan yang normal kompetitif maladaptive untuk mendorong dominasi
umumnya terlihat pada hewan. Dalam kasus manusia, perilaku mengancam mungkin
lebih terpola sepenuhnya oleh kekuatan sosial, atau mungkin lebih mercilessly
plotted egotisme oleh individu. "Untuk menggunakan 'ancaman kekerasan'
atau 'mengancam' atau 'dengan terganggu ' berarti untuk mengatakan atau
melakukan sesuatu dalam keadaan yang sama, akan menyebabkan orang lain bisa merasakan
harus takut dari keadaan berbahaya bilamana ia tidak mematuhinya.
Penindasan (bahasa Inggris: Bullying) adalah penggunaan
kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi
orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan
ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan
secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan
berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan. Tindakan
penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan
cyber. Budaya penindasan dapat berkembang dimana saja selagi terjadi interaksi
antar manusia, dari mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dan
lingkungan
Bentuk-bentuk penindasan
a.
Penindasan
fisik
Tindakan penindasan dengan kontak secara fisik yang menimbulkan
perasaan sakit fisik, luka, cedera, atau penderitaan fisik lainnya. Contohnya
memukul, menampar, atau menendang orang lain.
b.
Penindasan
psikologis
Tindakan penindasan yang menimbulkan trauma psikologis,
ketakutan, depresi, kecemasan, atau stres.
Faktor penyebab Pelaku melakukan Bully
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Douglas Gentile dan
Brad Bushman dalam Psychology of
Popular Media Culture,
disebutkan bahwa anak-anak yang terlihat baik juga memiliki risiko untuk
menjadi seorang pengganggu dan memiliki beberapa perilaku yang agresif.
Penelitian ini dilakukan dengan memantau perkembangan dari 430 anak usia 7-11 tahun di kelas 3-5 dari lima sekolah di Minnesota. Dalam studi ini, anak-anak dan guru disurvei dua kali per enam bulan. Agresifitas fisik ini diukur dengan laporan perkembangan diri, laporan teman sebaya, dan juga laporan guru tentang kekerasan yang dilakukan anak. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan beragam faktor yang bisa mengubah pribadi anak menjadi negatif .
Dalam laporan diri, anak-anak dinilai melalui tayangan televisi yang mereka sukai, video game, dan film. Penelitian dilakukan dengan seberapa sering mereka menonton dan bermain video game yang berhubungan dengan kekerasan. Mereka berpendapat bahwa televisi dan video game memegang peranan penting bagi anak untuk mem-bully teman-temannya, karena dianggap seperti permainan.
Berdasarkan penelitian ini, Gentile dan Bushman mengungkapkan, ada enam faktor yang bisa menyebabkan anak menjadi seorang pengganggu atau melakukan bullying pada temannya. "Ketika semua faktor risiko ini dialami anak, maka risiko agresi dan perilaku bullying akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukan masalah besar bagi anak, namun tetap butuh bantuan orang tua untuk mengatasinya," ungkap Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam hubungan keluarga maupun pertemanan, permusuhan seringkali tak bisa dihindari. Merasa dimusuhi akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalasnya.
2. Kurang perhatian
Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menilai bahwa menjadi seorang laki-laki harus kuat dan tak kalah saat berkelahi. Hal ini secara tak langsung menjadi image kuat yan menempel pada anak laki-laki bahwa mereka harus mendapatkan pengakuan bahwa mereka lebih kuat dibanding teman laki-laki lainnya. Akhirnya perilaku ini membuat mereka lebih cenderung agresif secara fisik.
4. Riwayat korban kekerasan
Biasanya, anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung 'balas dendam' pada temannya di luar rumah.
5. Riwayat berkelahi
Kadang berkelahi untuk membuktikan kekuatan bisa menjadikan seseorang ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang karena memperoleh pujian oleh banyak orang.
6. Ekspos kekerasan dari media
Penelitian ini dilakukan dengan memantau perkembangan dari 430 anak usia 7-11 tahun di kelas 3-5 dari lima sekolah di Minnesota. Dalam studi ini, anak-anak dan guru disurvei dua kali per enam bulan. Agresifitas fisik ini diukur dengan laporan perkembangan diri, laporan teman sebaya, dan juga laporan guru tentang kekerasan yang dilakukan anak. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan beragam faktor yang bisa mengubah pribadi anak menjadi negatif .
Dalam laporan diri, anak-anak dinilai melalui tayangan televisi yang mereka sukai, video game, dan film. Penelitian dilakukan dengan seberapa sering mereka menonton dan bermain video game yang berhubungan dengan kekerasan. Mereka berpendapat bahwa televisi dan video game memegang peranan penting bagi anak untuk mem-bully teman-temannya, karena dianggap seperti permainan.
Berdasarkan penelitian ini, Gentile dan Bushman mengungkapkan, ada enam faktor yang bisa menyebabkan anak menjadi seorang pengganggu atau melakukan bullying pada temannya. "Ketika semua faktor risiko ini dialami anak, maka risiko agresi dan perilaku bullying akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukan masalah besar bagi anak, namun tetap butuh bantuan orang tua untuk mengatasinya," ungkap Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam hubungan keluarga maupun pertemanan, permusuhan seringkali tak bisa dihindari. Merasa dimusuhi akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalasnya.
2. Kurang perhatian
Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menilai bahwa menjadi seorang laki-laki harus kuat dan tak kalah saat berkelahi. Hal ini secara tak langsung menjadi image kuat yan menempel pada anak laki-laki bahwa mereka harus mendapatkan pengakuan bahwa mereka lebih kuat dibanding teman laki-laki lainnya. Akhirnya perilaku ini membuat mereka lebih cenderung agresif secara fisik.
4. Riwayat korban kekerasan
Biasanya, anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung 'balas dendam' pada temannya di luar rumah.
5. Riwayat berkelahi
Kadang berkelahi untuk membuktikan kekuatan bisa menjadikan seseorang ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang karena memperoleh pujian oleh banyak orang.
6. Ekspos kekerasan dari media
Televisi, video game, dan film banyak menyuguhkan adegan kekerasan, atau perang. Meski seharusnya, orang tua melakukan pendampingan saat menonton atau bermain video game untuk anak di bawah umur, nyatanya banyak yang belum melakukan ini. Ekspos media terhadap adegan kekerasan ini sering menginspirasi anak untuk mencobanya dalam dunia nyata. "Sebaiknya dampingi dan beri pengertian pada anak saat menonton film beradegan kekerasan atau bermain video game perkelahian. Karena pengaruh media inilah yang 80 persen bisa membuat perilaku anak menjadi negatif dan terinspirasi untuk melakukannya," sarannya.
penjelasan
di atas adalah penjelesan yang bersumber dari wikipedia.(http://id.wikipedia.org/wiki/Intimidasi)
dan (http://female.kompas.com/read/2012/08/07/14121459/6.Penyebab.Anak.Suka.MemBully)
dari
dari hasil pengertian tersebut, kita
akhirnya mengetahui bahwa dasarnya fenomena BULLY sudah marak bahkan sangat melekat di kalangan masyarakat
baik pada usia muda sampai usia dewasa pun sudah menjadi hal biasa dalam
melakukan pembully-an ini, sehingga karna terlalu banyak orang yang mendiamkan
hal ini dan sudah menjadi hal yang biasa bagi banyak kalangan akhirnya
berdampak sangat buruk bagi kehidupan social pada lingkungan masyarakat itu
sendiri, dari hal tersebut kita mengetahu bahwa dampak yang di alami pada saat sekarang
adalah
-
sikap toleransi dalam
perbedaan jadi semakin sulit di temukan,
-
sikap saling
menghargai antar sesama jadi semakin sedikit yang sadar aka hal itu
-
sikap saling tolong
menolong antar sesama jadi semakin jarang karna begitu jauhnya perbedaan dan
semakin jelasnya penggolongan yang kaya-miskin, hitam-putih,
jelek-ganteng/cantik, dll
mengenai
penanganan dalam menghadapi fenomena ini pun sudah banyak hal yang di lakukan
Menteri Koordinator bidang
Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan bahwa kasusbullying atau
kekerasan dalam masa orientasi siswa di sekolah harus dihentikan. Untuk itu
pemerintah, menurutnya, akan mengambil langkah tegas untuk mencegah terulangnya
hal semacam itu di lingkungan sekolah.
"Perlu dihentikan,
cara-cara kekerasan di sekolah. Perlu metode baru dalam perkenalan di
sekolah," kata Menko Kesra Agung Laksono usai melakukan Safari Ramadhan di
sejumlah wilayah di Jawa Timur, Ahad (5/8).
Menteri mengatakan, masa
perkenalan harusnya diisi oleh kegiatan yang lebih mendidik dari pada
perpeloncoan. "Perlu ada tata cara baru dalam perpeloncoan agar tidak ada
lagi kasus kekerasan penerimaan siswa baru di sekolah," katanya.
Agung
meminta pihak orang tua dan juga guru di sekolah ikut mengawasi agar tidak ada
lagi kasus kekerasan di sekolah. Agung juga mengatakan, pihaknya akan segera
melakukan koordinasi lebih lanjut dengan seluruh instansi terkait untuk
penanganan kasus bullying.
"Jika harus ada
aturan khusus mengenai hal tersebut akan segera di bahas melalui koordinasi
dengan instansi terkait," katanya.
Sementara
itu, kasus bullying yang tengah mencuat pada saat ini
terdapat di SMA Don Bosco. Kasus tersebut kini telah masuk dalam penanganan
pihak Kepolisian.
Dan lebih tepatnya. Yang sangat
berperan terhadap hal ini adalah seluruh lapisan masyarakat baik orang tua,
teman, guru atau pengajar, dll. Yang dapat menjadi proaktif dalam memberantas
fenomena pembully-an ini.
2. FENOMENA MARAKNYA PELECEHAN SEKSUAL
Mengenai hal ini, pasti sudah tidak asing
lagi bagi kita, karna begitu banyaknya kasus pada permasalahan konflik sosial
ini, berikut adalah hasil penilitian dari kasus pelecehan seksual ini
Penulis laporan berjudul The Lancetmengatakan
meskipun terdapat kesenjangan penting dalam data, namun gambar secara
keseluruhan sudah sangat jelas kalau serangan seksual terhadap perempuan
adalah masalah besar dan luas yang tetap diabaikan.
Data di Australia
menunjukan kalau 16.4 persen perempuan di Australia pernah melaporkan dirinya
mengalami serangan kekerasan seksual oleh seseorang yang bukan pasangannya, angka
ini jauh lebih tinggi dari perkiraan global yang hanya menunjukan 7,2%.
Namun sejumlah pakar di
Australia memperingatkan kalau kesimpulan tersebut tidak mungkin,
berdasarkan laporan tersebut, yang mengatakan bahwa Australia memiliki dua kali
tingkat prevalensi kekerasan seksual dibandingkan dengan negara-negara lain.
Peneliti melakukan
tinjauan umum penyelidikan kasus kekerasan seksual di 56 negara. Melalui
pengumpulan data dari berbagai jurnal ilmiah serta bahan "abu-abu"
lainnya.
Kajian ini berhasil mengidentifikasi
77 studi yang dapat digunakan, yang menghasilkan 412 perkiraan kasus kekerasan.
Secara keseluruhan, 7,2 %
wanita berusia 15 tahun keatas mengatakan kepada pihak yang mewawancara mereka
kalau mereka pernah mengalami serangan seksual sedikitnya satu kali oleh
seseorang yang bukan pasangan intim mereka.
Tingkat prevalensi kasus
serangan kekerasan seksual tertinggi terjadi di sub-Sahara Afrika, yakni
sebesar 21 persen di bagian tengah Afrika (Republik Demokratik Kongo) dan
17,4 persen di wilayah selatan Afrikan yang meliputi Namibia, Afrika Selatan
dan Zimbabwe. Diikuti oleh 16,4 persen di Australia dan Selandia Baru.
Sedangkan
prevalensi terendah dilaporkan di Asia Selatan yakni India dan Bangladesh,
yakni sebesar 3,3 persen dan Afrika Utara dan Timur Tengah dengan 4,5 persen.
Sementara di Eropa, tiga negara di Timur (Lithuania, Ukraina, Azerbaijan) memiliki tingkat yang lebih rendah dari kekerasan seksual (6,9 persen) dibandingkan negara-negara di pusat (10,7 persen) dan Barat Eropa (11,5 persen). Angka untuk Amerika Utara adalah 13 persen.
Sementara di Eropa, tiga negara di Timur (Lithuania, Ukraina, Azerbaijan) memiliki tingkat yang lebih rendah dari kekerasan seksual (6,9 persen) dibandingkan negara-negara di pusat (10,7 persen) dan Barat Eropa (11,5 persen). Angka untuk Amerika Utara adalah 13 persen.
"Kami menemukan bahwa
kekerasan seksual adalah pengalaman umum bagi perempuan di seluruh dunia dan di
beberapa daerah endemik, mencapai lebih dari 15 persen di empat wilayah,"
kata peneliti utama Naeemah Abrahams dari Afrika Selatan Medical Research
Council di Cape Town.
Abrahams mengatakan
perbedaan besar antar daerah dipengaruhi oleh tingkat pelaporan. Menurut para
peneliti, budaya pelaporan atau pencatatan kasus serangan seksual membuat
korban kerap mendapat stigma dan oleh karena itu lebih mungkin mereka
menyembunyikan penderitaannya.
Sejumlah pakar
mempertanyakan metodologi yang digunakan dalam kajian ini. Biro Pusat Statistik
Australia kepada ABC juga mengatakan kalau perbandingan antara data yang dimiliki
lembaganya dengan laporan kajian dari The Lancet sangat sulit dilakukan karena
definisi yang mereka gunakan.
Namun survey tingkat
keamanan pribadi oleh Biro Pusat Statistik Australia tahun 2012 menunjukan
kalau 17% perempuan di Australia berusia 18 tahun lebih mengaku pernah mendapat
serangan kekerasan seksual sejak berusia 15 tahun.
Dalam
emailnya kepada AFP, Profesor Neemah Abrahams juga menyoroti keterbatasan dalam
kajian ini. Namun menurutnya hasil kajian ini cukup menyediakan informasi
dasar bagi pengawas kesehatan dan pembuat kebijakan untuk mengatasi
kekerasan seksual terhadap perempuan.
"Sebuah prevalensi 7,2 persen merupakan masalah yang cukup besar bagi negara manapun untuk peduli mengenai kondisi warga perempuan mereka," katanya.
"Sebuah prevalensi 7,2 persen merupakan masalah yang cukup besar bagi negara manapun untuk peduli mengenai kondisi warga perempuan mereka," katanya.
Faktor-Faktor penyebab dan dampak terjadinya
pelecehan seksual
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau
remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.[1][2] Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk
melakukan aktivitas seksual (terlepas
dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk
anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap
anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks
non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak
tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan
medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.[1][3][4]
Efek kekerasan seksual
terhadap anak antara lain depresi,[5] gangguan stres
pascatrauma,[6] kegelisahan,[7] kecenderungan
untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa,[8] dan
dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya.[9] Pelecehan
seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses,
dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus
inses orangtua.[10]
Di Amerika Utara, sekitar 15% sampai 25% wanita
dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual saat mereka masih
anak-anak.[11][12][13] Sebagian
besar pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka;
sekitar 30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara
laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti
'teman' dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar
sekitar 10% dalam kasus penyalahgunaan seksual anak.[11] Kebanyakan
pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa
perempuan melakukan 14% sampai 40% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap
anak laki-laki dan 6% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap perempuan.[11][12][14] Sebagian
besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber
adalah pedofil,[15][16] meskipun
beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk pedofilia.[17][18]
Berdasarkan hukum,
"pelecehan seksual anak" merupakan istilah umum yang menggambarkan
tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual
dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan
kepuasan seksual.[4][19] Asosiasi
Psikiater Amerika menyatakan bahwa "anak-anak tidak bisa menyetujui
aktivitas seksual dengan orang dewasa", dan mengutuk tindakan seperti itu
oleh orang dewasa: "Seorang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual
dengan anak adalah melakukan tindak pidana dan tidak bermoral yang tidak pernah
bisa dianggap normal atau perilaku yang dapat diterima secara sosial."
1. Advokasi
- Mendorong kebijakan menolak
pejabat pemerintah yangmempunyai track record pernahmelakukan
kejahatan seksual.
Ikut berpartisipasikampanye stop kejahatan seksual yang dikemas dalam berbagai kegiatan antara lain Kids Festival. - Mendorong pembahasan
Undang-undang tindak kejahatan seksual,termasuk meningkatkan sanksi
hukuman dan system database korban dan pelakukejahatan seksual
- Membuat video dokumenter
tentang bahaya kejahatan seksualpada anak.
2. Preventif
- Membuat programIT di internet
untuk memberantas predator seks.
It is interesting thatthe NIBRS data from 2000 show that most child pornography crimes reported didnot involve a computer or the Internet but were related to photographs,magazines, and videos (40). Recent studies have noted a decrease inInternet-related child pornography because of pressure from Internet"watchdog" groups and an increased police presence on the Internet (41, 42).(A Profile of Pedophilia: Definition, Characteristics ofOffenders, Recidivism, Treatment Outcomes, and Forensic Issues, http://focus.psychiatryonline.org/article.aspx?articleID=53036) - Penyuluhan antikejahatan seks
terhadap psikolog pendidikan dan guru-guru TK sampai dengan SMAuntuk
diberikan pembinaan kepada murid-muridnya.
- Membuat profil pedofil
dan deteksi dini pedofildi sekitar kita.
- Pembinaan orangtuadalam tumbuh
kembang anak, cara menjalin kedekatan emosi dan komunikasi dengananak.
- Sistem pengamanan dankeamanan
bagi anak
- Peningkatan fungsikeluarga demi
memastikan proses tumbuh kembang anak yang maksimal. Kasandra
& Associates telah merintiskonsep RUMAH MATAHARI : rumah yang
memberikan kehangatan kepada setiap anggotakeluarga dengan memaksimalkan
fungsi ayah matahari, ibu matahari dan anakmatahari. Di masa lalu kita
memiliki film mini series tentang keluarga mulaidari Little House on the
Prairie, The Cosby Show, Losmen, Rumah Cemara danlain-lain yang positif
dan efektif memberi inspirasi kepada masyarakat.
- Membuat daftar hitampelaku
kekerasan seksual dan database korban kejahatan seksual dengan
metodefingerprint.
3. Intervensi
- Pembinaan kepada para psikolog
dan terapis dalam melakukanpenanganan dan intervensi korban dan pelaku
kejahatan seksual.
- Intervensi psikologis yang
berkesinambungan bagi anak-anakkorban kejahatan seksual.
- Intervensi psikologis yang
berkesinambungan bagi pelakukejahatan seksual.
- Penelitian terhadappedofil dan
pelaku kejahatan seksual di Indonesia, seberapa ampuhnyakegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam menurunkan angka perilaku kekerasanseksual.
FAKTORPENYEBAB MARAKNYAKEKERASAN
SEKSUAL PADA ANAK DI INDONESIA
- Ancaman hukuman yangrelatif
ringan dan sistem penegakan hukum lemah, memerlukan pengorbanan biayadan
pengorbanan mental yang sangat tinggi cenderung membuat korban
menghindariproses hukum. Proses hukum yang rumit dan berbelit-belit,
penanganan yang keraptidak manusiawi, dan ancaman hukuman minimal 3 tahun
maksimal 15 tahun membuatkasus-kasus kekerasan seksual tenggelam selama
bertahun-tahun dan membiarkanpara korbannya tumbuh tanpa intervensi
psikologis yang tepat. Sejak kasus RGtahun 1996, kasus kekerasan seksual
kepada anak jalanan, praktis semua pihakbelum cukup melakukan tindakan
yang berarti. Saat negara lain sudah beranimenerapkan ancaman hukuman
mati, kebiri, sistem ‘black list’ serta berbagaikebijakan untuk menahan
laju dan ledakan kekerasan seksual, Indonesiaseolah-olah jalan di tempat
terutama karena ada budaya malu dan tidak beranimengakui fakta ini sebagai
masalah besar. Sudah sangat mendesakadanya daftar pelaku dan korban
kekerasan seksual yang tidak hanya mencatatnama, alamat, identitas lain
dan wajah, namun menggunakan metode fingerprintyang disimpan oleh
institusi Negara demi menjaga kerahasiaannya. Masyarakatyang ingin
merekrut pegawai untuk bekerja di fasilitas anak dapat mengirimkandata
fingerprintnya ke institusi Negara untuk memperoleh kepastian apakah yangbersangkutan
memiliki riwayat kekerasan seksual atau tidak. Dalam hal ini, kamisangat
yakin bahwa praktek ini sudah sangat dimungkinkan dengan
perkembanganteknologi saat ini. Satu-satunya hambatan adalah masalah HAM
yang seharusnyabisa diatasi dengan metode kerahasiaan data dan penyimpanan
di institusiNegara.
- Nutrisi fisik hormon
yangterkandung dalam makanan masa kini semakin membuat individu anak
matang sebelumwaktunya, yang sudah matang menjadi lebih tinggi dorongan
seksualnya.
- Nutrisi psikologis :tayangan
kekerasan, seks dan pornografi melalui berbagai media telah mencuciotak
masyarakat Indonesia dengan karakter iri, dengki, kekerasan, danpornoaksi.
Termasuk di dalamnya lagu-lagu yang semakin tidak kreatif, isi
dantampilannya hanya seputar paha dan dada telah semakin merusak mental
masyarakatIndonesia
- Perkembangan IT (internet)dan
kemudian perangkat gadget yang memungkinkan transfer dan transmisi
materiporno secara cepat dan langsung ke telapak tangan. Pada tahun 2000,
kami bersama bapak Roy Suryo dan bersama IPKdan Telkom membawakan materi
tentang bahaya internet. Bapak Roy Suryomenegaskan tidak ada satupun yang
dapat menahan laju perkembangan internetselain resistensi mental. Oleh
karena itu Kasandra & Associates (yangberdiri tahun 1996) giat menyuarakan
pentingnya resistensi mental dan prosestumbuh kembang pada anak, namun
hasilnya masih belum memuaskan. Sepanjang 16tahun, kami justru menerima
peningkatan masalah-masalah klinis pada masyarakatyang umumnya berkait
dengan proses tumbuh kembang dan disfungsi keluarga.
- Fungsi otak manusia yang khas,
neurotransmitter, kapasitas luhurmanusia telah membuat individu menjadi
kecanduan seks, terutama pada individudi bawah 25 tahun dalam masa
perkembangan mereka. Dalam hal ini, ibu Elly Risman lebih piawai menjelaskan
terutamadengan hasil penelitiannya selama beberapa tahun, bahwa anak dan
remajaIndonesia telah mengalami adiksi pornografi. Kami pernah
bersama-samamembawakan materi adiksi pornografi dan dampaknya terhadap
otak anak dan remajayang kapasitas luhurnya belum berkembang baik di ajang
temu ilmiah IPK (IkatanPsikologi Klinis) dan APSIFOR (Asosiasi Psikologi
Forensik) pada tahun 2008,tetapi reaksi saat itu umumnya
masih menganggap adiksi pornografi tidak mengandung unsur forensik.
- Lack Of safety dan security system yang tidak
benar-benar melindungi anak danperempuan bersamaan dengan memudarnya
pendidikan nilai-nilai pekerti dankarakter anak Indonesia. Pendidikan
hanya menjadi hafalan teoritis semata,termasuk pendidikan agama, norma
hukum dan norma sosial. Oleh karena itu, Kasandra & Associates bersama
Farabi (DwikiDharmawan) dan Optima (Judy Uway) merintis gerakan MATAHARI
Peduli Pekerti Anaksejak April 2014.
- Gaya hidup dan kesulitan
ekononiyang menuntut kesibukan orang tua yang luar biasa, a.l : double incomemendorong
ayah ibu banyak di luar rumah, anak kehilangan kesempatan belajarcara
melindungi diri. Situasi ini semakindipersulit dengan semakin robohnya
pilar keluarga dengan Angka Kematian Ibuyang masih tinggi, perempuan
terpaksa keluar rumah untuk bekerja menjadi TKWatau merantau ke kota besar
meninggalkan anak-anak, perempuan korban kekerasandan terjerat konflik
rumah tangga, perempuan terjebak biusan tayangan mediayang tidak edukatif,
sementara figur ayah justru sebagai model kekerasan atauketidak pedulian
terhadap proses tumbuh kembang anak, maka rumah yangdiharapkan sebagai
wadah pembentukan karakter dan kepribadian anak menjadikehilangan fungsi
dasarnya. Anak-anak tumbuh dan berkembang sendiri atau olehmedia yang
justru semakin menggerus nilai-nilai pekertinya dan kehilangankesempatan
untuk menguasai berbagai ketrampilan asertif untuk melindungi diri,bahkan
mereka mencari kasih sayang dan uang dari orang lain yang justru
menjadimonster yang merenggut masa depan mereka. Fenomena ini mirip dengan
gejalaStockholm syndrome dimana korban penculikan justru menaruh iba dan
memilikiketergantungan emosional kepada pelaku penculikan dan pelaku
kekerasanterhadapnya.
- Persepsi masyarakat
tentangpendidikan kesehatan reproduksi dan upaya perlindungan diri
cenderung ditolak, diterjemahkansederhana sebagai pendidikan seks dan
bahkan diabaikan yang pada akhirnya justru menghambat
prosespersiapan perlindungan anak. Batas usia awal untukmulai memberikan
pendidikan ini kepada anak juga menjadi kontroversi. Kasandra& Associate
meyakini batas usia untuk mulai mengajarkan adalah sejak dalamkandungan,
berupa disiplin ibu untuk menjaga kehamilannya seperti nutrisi sehatdan
kegiatan teratur, yang dilanjutkan pasca persalinan. Anak-anak
yangterbiasa hidup teratur sejak dini (hidup sehat, makan sehat, nonton
sehat),lebih mudah diarahkan untuk memilih hanya yang baik bagi dirinya
danmenghindari hal-hal yang buruk dalam hidupnya.
- Sistem sosial masyarakatyang
masih banyak mengandung kekerasan gender atau tokoh otoritas kerap
menjadipenyebab makin suburnya praktek kekerasan seksual karena figur laki
laki atautokoh otoritas pelaku kejahatan seksual dianggap tidak bersalah
dan lebihmenyalahkan perempuan atau korban sebagai penyebab. Banyak
kasus kekerasan seksual oleh tokoh laki-laki dan otoritas(kaya atau
berkedudukan) justru dimaklumi oleh masyarakat dan bahkan balikmenyerang
atau menyalahkan korban.
- Fakta bahwa kekerasan
dankekerasan seksual telah terjadi dimana saja, rumah, sekolah, klub olah
raga,pengajian, sekolah minggu dan lain lain. Praktekmembela diri dan
mengalihkan isu kekerasan seksual kepada hal lain justrusemakin
menyuburkan kekerasan seksual. Sudah saatnya kita semua mengambil perandan
tanggung jawab : pemerintah, masyarakat, sekolah, keluarga dan media.
- Persepsi sosial yangberkembang
di masyarakat membuat korban tidak berani melapor, predator lepas.Sudah
melapor pun tidak ditangani dengan baik bahkan ada yang mengalamikekerasan
baru, baik fisik, verbal maupun kekerasan seksual tambahan.
- Hampir tidak ada
tindakanberarti sejak kasus RG tahun 1996 yang telah berakibat pada ledakan
kekerasan seksual di masa kini.Termasuk dengan tidak adanya
intervensi psikologis yang berkesinambunganterhadap korban dan pelaku,
terutama karena layanan psikologis tidak termasukdalam berbagai paket
layanan kesehatan a.l BPJS atau saat penanganan kasusforensik. Ikatan
Psikologi Klinis merintis Psikologiuntuk Jakarta Sehat yang menyediakan
jasa layanan praktek psikologi klinis dipuskesmas sejak tahun 2013 dengan model
swadaya masyarakat dan dukunganbeberapa fakultas Psikologi di Jakarta.
Namun karena jangkauan minim, aksesterhadap intervensi Psikologi Klinis
belum tersedia di seluruh Indonesia,walaupun program telah ditingkatkan
menjadi Psikologi untuk Indonesia Sehatsejak tahun 2014. Jangankan
psikolog, pasienpun membutuhkan dana transportuntuk dapat memperoleh
intervensi. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yangrawan mitos dan oknum
oportunis, perlu ditekankan pula pentingnya Intervensi
Psikologisberdasarkan prinsip EBP ( Evidenve Based Practice), agar
tidak sembaranganorang berani menawarkan teknik-teknik terapi yang tidak
teruji
- Fakta bahwa pelakukekerasan
seksual TIDAK HANYA PEDOFIL LAKI-LAKI, tetapi juga ada PEDOFILPEREMPUAN,
ada yang BUKAN PEDOFIL, bahkan sudah mulai ada PELAKU ANAK DANREMAJA
sebagai akibat dari pembiaran selama ini. Dengandemikian perlu
diperhatikan kembali bagaimana prinsip restorative justice bisaditerapkan
dalam penanganan kasus kekerasan seksual oleh anak, tetapi jugatidak
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.
PrinsipRestorative Justice mendahulukan kepentingan anak, dalam hal ini
korban danpelaku anak yang harus benar-benar ditangani dengan hati-hati,
jangan sampaiterjebak menjadi praktek makelar kasus yang selama ini terjadi
dan diakhiridengan musyawarah penyelesaian finansial semata tetapi
mengabaikan unsurintervensi psikologis pada anak, baik sebagai korban
maupun pelaku. Dalam halini sudah mendesak untuk dibentuk semacam Pusat
Pemulihan Anak-Anak korban danpelaku kekerasan Seksual, terutama agar
disimpan database mereka dan dimonitorterus proses tumbuh kembang mereka.
Penanganan Pelecehan Seksual
Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum - Pilihan Penyelesaian
Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia dapat mengambil peranan sebagai
pendamping baik terhadap korban maupun terhadap pelaku, serta memberikan
bantuan hukum. Pendampingan atau bantuan hukum ini dapat diberikan sejak
pemeriksaan kepolisian, hingga di pemeriksaan di pengadilan. Dalam pemberian
pendampingan dan bantuan hukum ini, pihak korban atau pelaku lah yang biasanya
lebih proaktif. Namun demikian, hal ini dikembalikan pada tujuan pendirian
lembaga bantuan hukum yaitu memberikan bantuan bagi pihak-pihak yang kurang
mampu untuk memperoleh akses keadilan.
Maka dari itulah dari 2 kasus tersebut kita semakin sadar
bahwa kewaspadaan kita harus di tingkatkan guna untuk menghadapi berbagai macam
cobaan dan kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga di perlukannya
orang-orang yang peduli secara moral, tindakan, dan pemikiran hingga
kasus-kasus seperti tidak terjadi kembali di negri tercinta kita ini INDONESIA.